Header Ads

Seksisme, Cinta dan Penindasan Perempuan Papua



Seksisme Ilustrasi

Cinta dan penindasan merupakan dua hal yang beda cara dan pemahamannya. Cinta merupakan sebuah perasaan yang diberikan oleh Allah kepada sepasang manusia untuk saling mencintai, memiliki, memenuhi, dan memahami. Hal yang dimaksud dalam tulisan yang akan di jelaskan dibawa ini adalah cinta antara perempuan dan laki-laki (internal) yang tumbuh karena saling suka.

Melihat adanya pemahaman tentang cinta yang merupakan saling memiliki, memahami dan memenuhi, apakah generasi Papua sudah menjalankan proses cinta itu? Apakah mereka juga memahami proses berpacaran itu? 

Di erah Otsus Papua saat ini, dengan hadirnya berbagai kepentingan asing, budaya modern, tentu kehidupan sosial Papua khususnya budaya berpacaran terkontaminasi dengan budaya-budaya baru dari luar (modern). Jelas bahwa sebuah loncatan budaya berpacan paska adanya kontaminasi budaya modern dan kehidupan budaya orang Papua awal yang mengalami pergeseran yang fatal. 

Adanya pergeseran makna dan pemahaman tentang cinta ini sangat penting untuk dipahami khususnya generasi muda, kaum progresif dan revolusioner saat ini dengan bagaimana kita mendefinisikan cinta dan pacaran sesuai dengan dinamika yang terjadi. 

Dengan melihat kontaminasi antara budaya pacaran modern dan Papua, berdampak pada rusaknya moral generasi Papua, khususnya para lelaki. Seorang laki-laki Papua sejati dan bijaksana, dia akan selalu membimbing seorang perempuan untuk melangkah ke hal-hal yang positif selama pacaran bukan untuk menjadi aktor utama perusak perempuan Papua. Karena pacaran (yang saya pahami) adalah proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan.

Namun kata cinta dan pacaran telah dan sedang salah dimanfaatkan oleh sebagian besar generasi Papua. Banyak generasi laki-laki Papua masih dalam tahap pacaran tapi mereka sudah memperlakukan pacarnya seperti sepasang yang sudah berkeluarga. Sehingga  sikap mereka terhadap perempuan Papua sewenang-wenangnya. Contohnya, cemburu yang berlebihan akhirnya tindakan kekerasan tangan dan kaki berjalan. Sebagian besar perempuan  papua sering mengalami tindakan kekerasan fisik dan mental dalam fase pacaran. Namun mereka menggap bahwa tindakan dari pacarnya merupakan bukti cinta dari sang  bintang idola. Sehingga, setiap tindakan kekerasan diterima dengan iklas bahwa itu merupakan bukti dari cinta.  Padahal, hal itu merupkan pola pemahaman konyol yang mematikan ruang gerak perempuan Papua untuk berkembang dalam segala aspek bidang kehidupan. Dan anehnya lagi, ketika sudah dapat pukul atau di perlakukan kekerasaan fisik lain juga tetap diam saja. Perempuan bukan makluk yang lemah. Kata” lemah” hanya sebuah kata yang digunakan oleh laki-laki rakus untuk  mematikan langkahmu. Belum lagi, ketika masih pacaran, perempuan Papua dilarang untuk beriteraksi atau berdinamika dalam organisasi. Seharusnya hal-hal tersebut tidak boleh terjadi di tahap pacaran karena tidak ada kesalahan untuk saling memilki seutuhnya. Sandra mengatakan bahwa hal ini merupakan manipulatif untuk pembenaran atas prilaku yang ingin mengontrol. Di tahap pacaran setiap generasi Papua harus punya kebebasan untuk berinteraksi dan belajar yang seluas-luasnya.

Sekarang perempuan papua mengalami penindasan berganda; dari pasangan, keluarga, lingkungan sosial dan negara. Penindasan yang bersifat sistemastis dan terstruktur dari berbagai aspek kehidupan di hadapinya. Selanjutnya, penindasan dari pasangan sangat menjamur di mana-mana. Penindasan dari pasangan biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga, kampus, sekolah, dan organisasi. Penindasan dari pasangan yang dialami oleh perempuan Papua dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga biasanya akan diselesaikan secara demokratis yaitu dengan mengundang pihak pelaku dan korban bermusyawarah bersama. Korban melaporkan semua tindakan kekerasan yang dihadapinya. Kemudian, kedua belah pihak akan berunding. Setelah itu, siapa yang salah dan akan diberi beban. Contohnya, melalui proses denda atau damai secara keluarga.

Selanjutnya, bagimana dengan penindasan yang dialami oleh perempuan Papua dalam organisasi gerakan atau sosialis? Contohnya perilaku seskis laki-laki Papua terhadap perempuan Papua? Contoh kasus, seorang laki-laki Papua, namanya Yordan. Dia berada dalam satu organisasi. Dia berpacaran dengan lebih dari satu perempuan. Suatu ketika, karena saling mengetahui satu sama lain, mereka (pacarnya Yordan) saling membenci, saling mengelurkan kata-kata intimidasi yang merusak mentalnya masing-masing bahkan tindakan fisik pun terjadi. Seharusnya, para perempuan Papua tidak saling mengintimidasi karena mereka juga bagian dari korban dari salah satu pihak. Mereka seharusnya mengambil satu sikap  untuk memberi pelajaran terhadap aktor pelaku tersebut. Tetapi kenyataan justru melindungi Yordan dari tindakannya. 

Kebiasan ini mereupakan kebiasan buruk yang mematikan sesama kaum perempuan Papua. Selain itu, perempuan Papua tidak mempunyai sikap empati. Sikap empati sebagaimana memiliki sikap mengintimidasi antara sesama kaum perempaun. Penulis melihat di media sosial seperti di facebook, banyak perempuan Papua yang saling mengintimidasi. Pertanyaannya, Kenapa harus saling menindas sesama perempuan Papua yang juga korban? Kenapa tidak kepada si laki-laki itu? 

Contoh kasus perempuan Papua yang bijaksana. Ada dua gadis asal Tambrauw, Sorong-Papua, namanya Lay dan Mery. Mereka dua selalu aktif berorganisasi. Suatu ketika Ivon (mantanya pacarnya Lay) Ivon nyatakan isi hatinya kepada Mery. Namun Mery menolaknya karena dia lebih memepertahanakan persahabatan mereka dan menjaga perasaan teman dekatnya. Sedangkan Lay menendam perasaan suka sama Lay. Selain itu, Lay juga menjalani hubungan berpacaran dengan pria lain. Namun  pacarnya Lay juga berpacaran dengan perempuan lain. Di kondisi itu Lay terima dengan tenang, depresi pun tidak. Sebab dia menjaga perasaan sebagai sesama perempuan. Kedua tokoh cerita singkat di atas menunjukan sikap empati mereka terhadap sesama perempuan Papua dan sikap mengatakan tidak terhadap tindakan seksisme.

Kenyataan lain yaitu kebanyakan organisasi di kalangan mahasiswa Papua menganggap bahwa kehidupan privat sebagai hal yang terpisah dari kehidupan publik dan politik. Pemahaman seperti itu  kita telah dan sedang  mengaminkan sehingga setiap perilaku seksis yang dihadapi perempuan harus dihadapi olehnya sendiri.  Setiap organisasi di kalangan muda Papua menganggap bahwa perilaku tersebut merupakan urusan individu yang harus dihadapi secara profesional oleh perempuan yang ada dalam satu organisasi. Padahal perilaku seksis laki-laki Papua terhadap perempuan papua sangat mengkerdilkan kepercayaam diri individu-individu perempuan anggota organisasi tersebut. Prilaku tersebut sering mematikan gerakan seorang perempuan Papua untuk tetap berdinamika dalam organisasi. Kata sandra jika hal tersebut dijamurkan dalam organisasi maka akan mencoreng intergeritas organisasi tersebut tepat di jantungnya.

Namun musuh sejatih perempuan papua bukan lah laki-laki toh sebagai objek penindas. Kondisi umumnya hari ini orang papua di beradapkan dengan terkontaminasinya budaya-budaya luar. Ini juga yang membentuk nalar berpacaran laki-laki seperti di jelaskan tadi.

Sandra Bloodworth dalam bukunya An Anti- sexisme manifesto, menekankan bahwa ini hanyalah ilusi yang diciptakan oleh kapitalisme bahwa kita memiliki kontrol atas kehidupan personal kita dan bisa berprilaku secara murni sebagai individu. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap prilaku seksis dari laki-laki Papua terhadap perempuan Papua bukan lagi menjadi urusan pribadi melainkan tanggungjawab organisasi sosialis untuk diselesaikan secara demokratis demi menghancurkan ilusi ciptaan kapitalis bahawa kita memiliki kontrol atas kehidupan personal dan berprilaku secara murni sebagai individu. Ketika prilaku yang disrkiminatif, terutama seksis berkembang dalam suatu organisasi gerakan maka harus dilawan.  Hal keliru ketika kaum revolusioner yang tergabung dalam organisasi gerakan tidak menindak  hal tersebut secara serius dan perilaku seksis laki-laki Papua hanya menjadi perbincanagn desas-desus dalam organisasi tersebut. Sandra mengatakan bahwa setiap perilaku seksis laki-laki terhadap perempuan harus dikritik secara terbuka sehingga perempuan memiliki kepercayaan diri, mendapat hak dan perlakuan yang setara dalam organisasi tersebut. Apakah selama ini prilaku seksis laki-laki Papua terhadap perempuan Papua organ gerakan maupun diluar sudah dikritik secara terbuka atau hanya menjadi desas-desus belaka? Mengapa demikian harus dikritik secara terbuka? karena menurut Sandara  bahwa hal tersebut merupakan  suatu yang sangat penting dan vital bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang dan berpartisipasi dalam membangun organisasi revolusioner secara serius. Oleh sebab itu, seksisme merupakan tanggungjawab perempuan dan laki-laki Papua, setiap individu yang ada dalam organisasi revolusioner dan politik lainnya mempunyai sikap dan perilaku anti-sexists menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya organisasi tersebut.

Artikel ini, pertama kali dipublish di webside-nya AMP

No comments: